TIMNAS INDONESIA MINIM TARGET MAN

By vegaensiklopedia10@gmail.com - 07.27





Foto: Indosport


Oleh: Vega Ma’arijil Ula

            Sepakbola masih menjadi olahraga favorit di tanah air. Hal ini terbukti dari penuhnya seisi stadion saat olahraga kulit bundar ini dimainkan. Mayoritas pendukungnya kini tak lagi kaum adam melainkan merambah ke kaum hawa. Mulai anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Praktis, sepakbola menempati peringkat teratas sebagai olahraga populer masyarakat Indonesia. Kesetiaan fans didalam mendukung tim keayangannya tak hanya terjadi saat Timnas Indonesia berlaga, bahkan untuk kategori kompetisi kasta Liga 3 saja, masayarakat masih antusias datang ke stadion guna memberikan “support” tim kesayangannya berlaga.
            Melihat antusiasme yang luar biasa besar, tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi negeri ini, terlebih publik memang sudah lama tak menyaksikan pertandingan sepakbola pasca PSSI dibekukan oleh FIFA. Meski hingga saat ini belum ada yang dapat dibanggakan oleh skuad Timnas itu sendiri. Terakhir Timnas Indonesia berhasil menjadi kampiun yaitu pada Piala AFF-U19 itupun di level Under-19 bukan di level senior. Berbicara soal Timnas Indonesia sejatinya ada satu hal mencolok yang dapat kita kritisi yang tak lain adalah posisi striker. Jika kita amati secara detail, Timnas Indonesia tidak memiliki tipe striker “Target man”. Sejak berakhirnya era Kurniawan Dwi Yulianto, Bambang Pamungkas dan Boaz Solossa, hingga kini Timnas Indonesia tak lagi memiliki pemain dengan tipe “Target man”. Sebuah situasi yang sangat memprihainkan tentunya.
            Ada dua faktor yang mendasari minimnya pemain Timas dengan bertipe “Target Man”. Yang pertama tentu minimnya kesempatan bermain bagi striker lokal. Mayoritas klub-klub sepakbola Indonesia masih mempercayakan pemain asing sebagai striker tunggal guna membobol gawang lawan. Selain anggapan striker asing lebih mumpuni ketimbang striker lokal, postur tubuh, penempatan diri, penyelesaian akhir dan taktik sepakbola modern dengan satu striker menjadi pendukung maraknya penggunaan striker asing di liga Indonesia. Di tahun ini saja, hanya beberapa tim yang menggunakan jasa striker lokal, yakni Pusamania Borneo (Lerby Eliandry), PS Barito Putera (Samsul Arif), Persipura Jayapura (Boaz Solossa dan Prisca Womsiwor), dan Persebaya Surabaya (Risjadi Fauzi dan Richard Kayame). Sisanya dihuni oleh pemain asing maupun pemain naturalisasi. Dengan hal ini, Praktis striker lokal terpinggirkan. Kedua karena banyaknya pemain naturalisasi yang juga berposisi sebagai striker. Sebut saja Christian Gonzales, Sergio van Dijk, Johnny van Beukering, Ezra Walian hingga Ilija Spasojevic. Tidak ada yang salah dengan proses naturalisasi, bahkan hal ini juga sudah diterapkan sebagai cara instan di negara ASEAN bahkan diseluruh negara didunia. Akan tetapi, tidak ada kesuksesan yang dapat dicapai secara instan. Hal semacam ini justru akan membentuk opini publik bahwa masalah kekurangan striker dapat diatasi dengan cara melakukan naturalisasi. Dampak negatifnya justru akan merusak fondasi pembibitan pemain-pemain muda, utamanya diposisi striker.
Kita dapat berkaca ada Thailand yang saat ini mulai diperhitungkan oleh Asia, bahkan mereka tampil apik tanpa pemain naturalisasi. Itulah dasar bahwa Thailand memiliki pengembangan pemain yang baik. Kita juga dapat melihat performa pemain Timnas saat SEA GAMES beberapa bulan yang lalu. Pencetak gol terbanyak Timnas Indonesia justru dicetak oleh Septian David Maulana yang notabene adalah seorang gelandang serang, bukan striker. Jumlah gol dari Marinus Manewar dan Ezra Walian yang merupakan seorang striker masih kalah dari jumlah gol Septian David.
            Sebenarnya Timnas Indonesia tidak kekurangan pemain dengan tipe “Target man”. Indonesia mempunyai tipe pemain target man dan penahan bola macam Muchlis Hadining, Dimas Drajat, Lerby Eliandry, Raffli Nur Salim, hingga Hanis Saghara. Hanya saja nama-nama tersebut jarang mendapatkan porsi bermain yang lebih di klub masing-masing. Kurniawan Dwi Yulianto juga mengutarakan bahwa Timnas Indoneisa tidak kekurangan pemain bertipe pelari, akan tetapi untuk posisi “Target man” kondisinya memprihatinkan. Indonesia tentu punya bakat-bakat muda di pos striker bahkan hal ini terlihat dari kompetisi U-15, U-17 dan U-19 dimana banyak sekali bibit muda di posisi striker. Hanya saja saat memasuki level yang lebih tinggi, mereka kalah bersaing dengan striker asing dan tidak adanya kepercayaan dari pelatih untuk memberikan jam terbang. Timnas tentu tidak dapat memaksakan pemain dengan tipe bukan seorang “Target man” seperti Tius Bonai, Ferdinand Sinaga, Boas Solossa, Yabes Roni, Febri Haryadi ataupun Ilhamudin Armayn untuk dapat bermain diposisi sebagai seorang “Target man”. Hal ini justru akan merusak skema permainan suatu tim.
            Tentu semua stakeholder harus turut berperan aktif didalam menangani mandegnya regenerasi striker lokal bertipe “Target man”. Alasan tidak mendapatkan menit bermain bagi generasi muda tentu dikarenakan minimnya jam terbang di masing-masing klub. Jika klub tidak memberikan menit bermain yang cukup, bagaimana mungkin pemain tersebut dapat memperkuat Timnas Indonesia. Anggapan bahwa striker lokal kurang mumpuni masih menjadi alasan klub-klub di Indonesia untuk lebih memilih striker asing. Namun jangan dilupakan bahwa kompetisi dibuat untuk masa depan kemajuan Timnas Indonesia.
            Posisi seorang striker adalah posisi yang vital bagi olahraga sepakbola dimana olahraga ini memang mengharuskan sebuah tim untuk mencetak gol kegawang lawan sebanyak banyaknya. Oleh karenanya tugas seorang striker amatlah penting. Karena sebuah tim tidak akan meraih kemenangan apabila tim tersebut tidak mencetak gol. Jadi, tanpa striker bertipe “Target man” Timnas Indonesia dirasa sulit untuk meraih prestasi di level yang lebih tinggi.


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar

Contact

Whats App
085640127128

Email
vegaensiklopedia10@gmail.com