Foto: Indosport
Oleh:
Vega Ma’arijil Ula
Sepakbola masih menjadi olahraga
favorit di tanah air. Hal ini terbukti dari penuhnya seisi stadion saat
olahraga kulit bundar ini dimainkan. Mayoritas pendukungnya kini tak lagi kaum
adam melainkan merambah ke kaum hawa. Mulai anak-anak, remaja, hingga orang
dewasa. Praktis, sepakbola menempati peringkat teratas sebagai olahraga populer
masyarakat Indonesia. Kesetiaan fans didalam mendukung tim keayangannya tak
hanya terjadi saat Timnas Indonesia berlaga, bahkan untuk kategori kompetisi
kasta Liga 3 saja, masayarakat masih antusias datang ke stadion guna memberikan
“support” tim kesayangannya berlaga.
Melihat antusiasme yang luar biasa
besar, tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi negeri ini, terlebih publik
memang sudah lama tak menyaksikan pertandingan sepakbola pasca PSSI dibekukan
oleh FIFA. Meski hingga saat ini belum ada yang dapat dibanggakan oleh skuad
Timnas itu sendiri. Terakhir Timnas Indonesia berhasil menjadi kampiun yaitu
pada Piala AFF-U19 itupun di level Under-19 bukan di level senior. Berbicara
soal Timnas Indonesia sejatinya ada satu hal mencolok yang dapat kita kritisi
yang tak lain adalah posisi striker. Jika kita amati secara detail, Timnas
Indonesia tidak memiliki tipe striker “Target man”. Sejak berakhirnya era Kurniawan
Dwi Yulianto, Bambang Pamungkas dan Boaz Solossa, hingga kini Timnas Indonesia
tak lagi memiliki pemain dengan tipe “Target man”. Sebuah situasi yang sangat
memprihainkan tentunya.
Ada dua faktor yang mendasari minimnya
pemain Timas dengan bertipe “Target Man”. Yang pertama tentu minimnya
kesempatan bermain bagi striker lokal. Mayoritas klub-klub sepakbola Indonesia
masih mempercayakan pemain asing sebagai striker tunggal guna membobol gawang
lawan. Selain anggapan striker asing lebih mumpuni ketimbang striker lokal,
postur tubuh, penempatan diri, penyelesaian akhir dan taktik sepakbola modern
dengan satu striker menjadi pendukung maraknya penggunaan striker asing di liga
Indonesia. Di tahun ini saja, hanya beberapa tim yang menggunakan jasa striker
lokal, yakni Pusamania Borneo (Lerby Eliandry), PS Barito Putera (Samsul Arif),
Persipura Jayapura (Boaz Solossa dan Prisca Womsiwor), dan Persebaya Surabaya
(Risjadi Fauzi dan Richard Kayame). Sisanya dihuni oleh pemain asing maupun
pemain naturalisasi. Dengan hal ini, Praktis striker lokal terpinggirkan. Kedua
karena banyaknya pemain naturalisasi yang juga berposisi sebagai striker. Sebut
saja Christian Gonzales, Sergio van Dijk, Johnny van Beukering, Ezra Walian
hingga Ilija Spasojevic. Tidak ada yang salah dengan proses naturalisasi,
bahkan hal ini juga sudah diterapkan sebagai cara instan di negara ASEAN bahkan
diseluruh negara didunia. Akan tetapi, tidak ada kesuksesan yang dapat dicapai
secara instan. Hal semacam ini justru akan membentuk opini publik bahwa masalah
kekurangan striker dapat diatasi dengan cara melakukan naturalisasi. Dampak
negatifnya justru akan merusak fondasi pembibitan pemain-pemain muda, utamanya
diposisi striker.
Kita
dapat berkaca ada Thailand yang saat ini mulai diperhitungkan oleh Asia, bahkan
mereka tampil apik tanpa pemain naturalisasi. Itulah dasar bahwa Thailand
memiliki pengembangan pemain yang baik. Kita juga dapat melihat performa pemain
Timnas saat SEA GAMES beberapa bulan yang lalu. Pencetak gol terbanyak Timnas Indonesia
justru dicetak oleh Septian David Maulana yang notabene adalah seorang
gelandang serang, bukan striker. Jumlah gol dari Marinus Manewar dan Ezra Walian
yang merupakan seorang striker masih kalah dari jumlah gol Septian David.
Sebenarnya Timnas Indonesia tidak
kekurangan pemain dengan tipe “Target man”. Indonesia mempunyai tipe pemain
target man dan penahan bola macam Muchlis Hadining, Dimas Drajat, Lerby
Eliandry, Raffli Nur Salim, hingga Hanis Saghara. Hanya saja nama-nama tersebut
jarang mendapatkan porsi bermain yang lebih di klub masing-masing. Kurniawan
Dwi Yulianto juga mengutarakan bahwa Timnas Indoneisa tidak kekurangan pemain
bertipe pelari, akan tetapi untuk posisi “Target man” kondisinya
memprihatinkan. Indonesia tentu punya bakat-bakat muda di pos striker bahkan
hal ini terlihat dari kompetisi U-15, U-17 dan U-19 dimana banyak sekali bibit
muda di posisi striker. Hanya saja saat memasuki level yang lebih tinggi,
mereka kalah bersaing dengan striker asing dan tidak adanya kepercayaan dari
pelatih untuk memberikan jam terbang. Timnas tentu tidak dapat memaksakan
pemain dengan tipe bukan seorang “Target man” seperti Tius Bonai, Ferdinand
Sinaga, Boas Solossa, Yabes Roni, Febri Haryadi ataupun Ilhamudin Armayn untuk
dapat bermain diposisi sebagai seorang “Target man”. Hal ini justru akan
merusak skema permainan suatu tim.
Tentu semua stakeholder harus turut
berperan aktif didalam menangani mandegnya regenerasi striker lokal bertipe
“Target man”. Alasan tidak mendapatkan menit bermain bagi generasi muda tentu
dikarenakan minimnya jam terbang di masing-masing klub. Jika klub tidak
memberikan menit bermain yang cukup, bagaimana mungkin pemain tersebut dapat
memperkuat Timnas Indonesia. Anggapan bahwa striker lokal kurang mumpuni masih
menjadi alasan klub-klub di Indonesia untuk lebih memilih striker asing. Namun
jangan dilupakan bahwa kompetisi dibuat untuk masa depan kemajuan Timnas
Indonesia.
Posisi seorang striker adalah posisi
yang vital bagi olahraga sepakbola dimana olahraga ini memang mengharuskan sebuah
tim untuk mencetak gol kegawang lawan sebanyak banyaknya. Oleh karenanya tugas
seorang striker amatlah penting. Karena sebuah tim tidak akan meraih kemenangan
apabila tim tersebut tidak mencetak gol. Jadi, tanpa striker bertipe “Target
man” Timnas Indonesia dirasa sulit untuk meraih prestasi di level yang lebih
tinggi.
0 komentar