Oleh:
Vega Ma’arijil Ula
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi wasit yaitu penengah, perantara,
penentu, pemimpin, pemisah, pelerai, dan pendamai. Dalam dunia sepakbola tentu
keseluruhan tersebut dirasa pas apabila dikaitkan dengan olahraga kulit bundar.
Kedua tim yang bertanding tentu membutuhkan seorang wasit sebagai pemimpin dan
pengadil lapangan. Namun, terkadang kondisi ini tidak berjalan mulus mengingat
banyak kesalahan yang dilakukan oleh hakim garis. Beberapa fakta mengungkapkan
adanya perilaku kurang terpuji. Mafia wasit misalnya. Dalam hal ini, hakim
garis menerima insentif lebih diluar gaji pokonya sebagai hakim garis. Kasus
seperti ini pernah menimpa Jerman saat menghadapi Inggris di Piala Dunia 1966.
Saat bola hasil sepakan Geoff Hurst yang belum melewati garis gawang justru
dianggap sah. Kondisi seperti ini tentu merugikan Jerman.
Sebuah
situasi yang sama dengan Indonesia. Kinerja hakim garis di Indonesia menuai
sorotan dari pecinta olahraga si kulit bundar. Melihat fakta Liga Super
Indonesia (LSI) tahun 2012, saat laga Mitra Kukar versus Persib Bandung dimana
Aliyudin dianggap offside di babak pertama, kemudian M.Ilham yang juga diangggap offside di babak kedua. Padahal kedua putusan
tersebut tidaklah benar. Ditahun 2014, hal serupa juga terjadi saat
pertandingan Persebaya melawan Mitra Kukar pada lanjutan Indonesia Super League
2014. Di tahun ini, perhelatan Piala Presiden 2017 kembali terjadi. Saat duel
Sriwijaya FC kontra Bali United, Hilton yang saat itu berada pada posisi
on-side justru dianggap berada pada posisi off-side.
Sebuah
gaji tentunya harus diimbangi kinerja yang baik. Benar bahwa wasit juga manusia
yang tidak luput dari kesalahan. Akan tetapi, kondisi seperti ini tidak bisa
dibiarkan terus menerus. Melihat gaji wasit yang cukup lumayan, dengan tolak
ukur ISL atau Torabika Soccer Championship yaitu 5 juta untuk wasit tengah, 3
juta untuk hakim garis, dan 1,5 juta untuk asisten pertandingan (pengganti
pemain dan injury time).
Angka
tersebut dirilis oleh PT. GTS beserta ungkapan dari salah satu wasit Indonesia.
Kesalahan yang sering dilakukan oleh hakim garis adalah keputusan mengenai
off-side. Kerap kali klub-klub dirugikan oleh situasi seperti ini. Bahkan Widodo
C. Putro juga mengeluhkan hal ini saat timnya; Sriwijaya FC berhadapan dengan
Bali United. Apabila kondisi ini terus berlanjut, akan berdampak pada tim-tim
yang bermain offensive. Kondisi yang sejatinya on-side tetapi dianggap off-side
tentu merupakan hal yang merugikan. Kemudian untuk tim yang merupakan sistem
jebakan off-side tetapi dianggap on-side. Tak hanya itu, para pemain dengan
tipe pelari akan berfikir ulang saat berlari kencang karena takut berada pada
posisi off-side yang sejatinya belum tentu off-side.
Kondisi
yang benar adanya mengingat wasit Indonesia tak pernah ditunjuk sebagai
pengadil lapangan untuk laga antar klub (Internasional) maupun pertandingan
antar negara. Padahal wasit asal Singapura pernah merasakan memimpin Piala
Dunia 2006. Sebuah hal yang patut dijadikan evaluasi. PSSI dan hakim garis
beserta seluruh penggiat sepakbola dapat berbenah mulai dari hal terkecil
seperti mengevaluasi lewat tayangan ulang (replay), kemudian wasit perlu
mengurangi rasa cemas dan tekanan terhadap supporter tuan rumah. Selanjutnya
adalah mengurangi praktek mafia wasit. Karena secara keseluruhan demi kompetisi
dan kemajuan sepakbola yang lebih baik.
0 komentar